Jumat, 25 Maret 2011

Tafsir Fiqhi/ Ahkam dan Tafsir Falsafi


BAB II

PEMBAHASAN

A. Tafsir Fiqhi/ Ahkam

Tafsir fiqhi yang dikenal juga dengan tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam ialah tafsir yang lebih berorientasi pada ayat-ayat hokum dalam Al-Qur’an (ayat al-Ahkam).

Keberadaan tafsir ahkam dapat dikatakan diterima oleh seluruh lapisan mufassirin. Tafsir ahkam memiliki usia yang sangat tua, karena lahir bersamaan dengan kelahiran tafsir Al-Qur’an pada umumnya.

Jawaban-jawaban Nabi atas pertanyaan-pertanyaan sahabat dikategorikan sebagai tafsir bi al-ma’tsur, juga dikategorikan sebagai tafsir fiqhi. Setelah Nabi wafat , para sahabat menggali sendiri hukum-hukum syara’ dari Al-Qur’an ketika berhadapan dengan permasalahan-permasalahan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi. Ijtihad para sahabat pun di samping dikategorikan sebagai tafsir al-ma’tsur juga dikategorikan tafsir fiqhi. Demikian pula ijtihad para tabi’in.

Tafsir fiqhi semakin berkembang seiring dengan majunya intensitas ijtihad. Pada awalnya, penafsiran-penafsiran fiqhi terlepas dari kontaminasi hawa nafsu dan motivasi-motivasi negative. Hal itu berlangsung sampai periode munculnya mazhab fiqih empat dan yang lainnya. Pada periode ini kaum muslimin dihadapkan dengan masalah yang belum pernah terjadi pada generassi-generasi sebelumnya, sehingga belum ada keputusan hukumnya. Ketika menghadapi masalah ini, setiap imam mazhab berijtihad dibawah naungan Al-Qur’an, sunnah, dan sumber-sumber penetapan hokum islam lainnya. Mereka lalu berhukum dengan hasil ijtihadnya yang telah dibangun atas berbagai dalil.

Setelah periode ini muncullah para pengikut imam-imam mazhab. Diantara mereka terdapat orang-orang yang fanatik terhadap mazhab yang dianutnya. Ketika memahami Al-Qur’an , mereka menggiringnya agar sesuai dengan mazhab yang mereka anut. Namun diantara mereka ada yang tidak fanatik dengan mazhab yang mereka anut, mereka memahami Al-Qur’an dengan menggunakan pemikiran yang bersih dari kecenderungan hawa nafsu. Mereka bahkan memahami dan menafsirkannya atas dasar makna-makna yang mereka yakini benarnya.

Setiap mazhab dan golongan tersebut berupaya dan berusaha menakwilkan Al-Qur’an sehingga dapat dijadikan dalil atas kebenaran mazhabnya, dan berupaya menggiring ayat-ayat Al-Qur’an sehingga sejalan dengan paham teologi masing-masing. Tafsir fiqhi ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih karangan imam-imam dari berbagai kalangan mazhab.

Al-Tafsir al-Fiqhi ini tersebar luas di celah-celah halaman berbagai kitab fikih yang dikarang oleh tokoh berbagai mazhab. Terutama setelah masa kodifikasi, banyak ulama menulis karya tafsir semacam ini sesuai dengan pandangan mazhab mereka.

Diantara kitab-kitab tafsir yang bercorak fiqhi ini adalah :

a. Ahkamul qur’an, oleh al-Jash-shas (w. 370 H).

b. Ahkamul qur’an, karya Ibn al-Arabi (w. 543 H).

c. Al-Jami’ li ahkamil qur’an, oleh al-Qurthuby (w. 671 H).

B. Tafsir Falsafi

Tafsir Falsafi adalah penafsiran Al-Qur’an berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal. Ilmu filsafat tidak diketahui orang-orang Islam sebelum masa bani Abbasiyah pertama (132-232 11/ 750-847 M). Ilmu ini ditransfer kedunia Islam melalui penerjemahan buku-buku filsafat Yunani yang tersebar di daerah-daerah Laut Putih, Iskandariah, Anthakiah, dan Harran.

Pada masa Harun Al-Rasyid lebih diutamakan penerjemahan filsafat Aristoteles dan Persia. Kemudian pada masa Al-Makmun penerjemahan lebih aktif lagi dan disertai dengan mengirim tim-tim ke negara-negara tetangga seperti Cyprus dan Romawi untuk mendapatkan buku-buku filsafat. Kemudian lahirlah filsuf-filsuf muslim yang terkenal, yang kemudian menulis buku dalam Khazanah keilmuan dalam berbagai cabang, seperti kedokteran, logika, astronomi dan lainnya. Diantaranya adalah, Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina:

1. Tema-tema penafsiran dengan kecenderungan filsafat

Karena filsafat merupakan cabang dari ilmu pengetahuan dan mempunyai objek kajian tertentu yang berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Tafsir dengan kecenderungan filsafat mempunyai objek yang tidak lepas dari pengaruh dari objek kajian filsafat itu sendiri. Menurut C.A. Qadir, objek kajian tersebut antara lain berikut ini :

a. Masalah doktrin monteisme atau keesaan Allah. Menurut doktrin ini, Allah adalah pencipta Alam semesta yang tidak berawal dan tidak berakhir, tidak berubah, Maha tahu, Maha kuasa , satu-satunya yang disembah. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.

b. Masalah yang sangat penting adalah menyangkut kenabian, yang menyangkut sebagai sifat dasar dan cirri-ciri kesadaran, perbedaan dan kemiripannya dengan kesadaran mistik, logika atau kesadaran keagamaan, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya.

c. Masalah penyelesaian antara filsafat dan agama. Para filosof berpendapat bahwa pada tingkat akhir, hasil pemikiran filsafat tidak bertentangan dengan agama karena kedua-duanya bersumber pada hakikat terakhir yang sama.

2. Metodologi tafsir dengan kecenderungan falsafi

Dari objek kajian dan prinsip kefilsafatan ini, dapat dilihat bahwa dalam metodologi penafsiran dari mazhab tafsir yang berkecenderungan filsafat ini, terdapat upaya penggabungan antara filsafat dan agama atas dasar penakwilan teks-teks agama pada makna-makna yang sesuai dengan filsafat, yang filosofis, yang dimulai perenungan atas sejumllah fenomena lainnya dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan ayat Al-Qur’an . Dengan kata lain, dapat dikatakan, mendahulukan pertimbangan logika kemudian diteruskan dengan melihat norma syari’at, yaitu Al-Qur’an.

3. Contoh penafsiran dalam kecenderungan Filsafat


Artinya : Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada nya.

(Ar-Rahman :6)

Kata “sujud” pada ayat tersebut dengan makna tunduk pada ketentuan Illahi. Karena secara lahir, kata sujud bagi binatang dan pohon tidak mungkin terlihat pada sujud ketika shalat bagi manusia. Dengan demikian harus diakui bahwa benda-benda mempunyai daya hidup. Sedangkan kehidupan merupakan indikasi adanya kematian atau kehancuran yang terjadi pada suatu saat. Karena makhluk rasional lebih unggul ketimbang yang irasional. Padahal benda-benda tidak mempunyai akal, batas kecerdasan benda-benda itu termasuk benda itu sendiri, haruslah lebih rendah dari manusia.

Menurut Quraish Shihab, medan filsafat alam objek penafsirannya hanya sekitar hal yang menyangkut keyakinan (tauhid, aqidah, atau teologi). Oleh karena itu, terjadi bias-bias yang terkadang mengarah kepada tercerabutnya konsep tauhid terutama dari Mu’tazilah dan orang yang masuk Islam yang sekat-sekat keyakinan lamanya masih kuah dan terbawa pada ketauhidan Islam. Dengan tafsir yang bersifat falsafi ini, akidah menjadi cacat, Fasad, dan sekedar menjadi bahan perbincangan yang membuat pro dan kontra.



DAFTAR PUSTAKA

Juhaya, S. Praja, Dr. Tafsir Hikmah (seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia), PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002.

Suma Muhammad Amin. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2001

Khaeruman Badri, Drs.Mag, Sejarah Perkembangan Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2004

Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung . Pustaka Setia. 2005



Tidak ada komentar:

Posting Komentar