Rabu, 11 Mei 2011

Sai Anju Ma Au

Aha do Alana
dia do bossirna hasian
umbahen sai muruk ho tu ahu
molo tung adong nasalah nahubaen
denggan pasingot hasian
molo hurimangi
pambahenammi natua au
nga tung maniak ate atekki
sipata bossir soada nama i
dibaekko mangarsak ahu
Reff:
molo adong na salah manang na hurang pambaenakki
sai anju ma au
sai anju ma au ito hasian
sai anju ma au
sai anju ma au ito nalagu

PENGINGAT BESULU- ACHIK SPIN & SITI NORDIANA

UDAH KU NGUJI
MINTA PENGERINDU NUAN
AWAKKA NYADI TANCHANG TALI MATI

TANG NADAI MEH DAYA
PUNTAN MEH JANJI TUA
NYANGKA DIATUR PETARA


UDAH LAMA TUA BEGULAI
BESULU TUA BEAMBAI
SIGI ENDA PENGERINDU BALANG
ATIKU MINA NUJU NUAN

INGATKA MAYA BEGULAI
BETUNDI TUA BEGAGAI
TI SEMA NUAN NYAU RINDU
NYA MEH NYADIKA PENAWAR


NAKA PENGELEBU ATIKU
PENYAYAU KU NUAN ENDA NGIRA

PUTUS PENGERINDU TUA
NYANGKA SELATAN NENTU KA YA


BERAIE ATI AKU
AKU BERASAI SINU
ANCHUR MEH PENGARAPKU
AMPUN KU SULU

PENEGRINDU NUAN BERUBAH
AKU PAN NADAI NYANGKA
NYA KE SERAH NUAN
PEGI MEH SULU....

TAJA PENGERINDU JAUH DITANGGAM
SAMA NGEMERAN ATI TI TUSAH
NGARAP DUDI ARI ILA
BEGULAI SEJALAI

Mahkum fih dan mahkum Alaih

Mahkum Fih dan Mahkum Alaih
MAHKUM FIH (OBYEK HUKUM)
Pengertian Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’ (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120). Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317). Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
Syarat-Syarat Mahkum Fih
• Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
• Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
• Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:
1) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
2) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3) Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
4) Tercapainya syarat taklif tersebut (Syafe’I, 2007: 320)
Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain sebagaimana berikut:
• Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf.
• Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
• Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa.
• Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa (Sutrisno, 1999: 121-123).
Macam-Macam Mahkum Fih
• Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’:
1) Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
2) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
3) Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
• Sedangkan dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
1) Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.
2) Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
3) Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina.
4) Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafe’i: 2007: 331)
MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)
Pengertian Mahkum Alaih
Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103). Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.
Syarat-syarat Mahkum Alaih
• Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
• Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157-158)

Lirik lagu Rhoma Irama sebujur bangkai


Sebujur Bangkai oleh: Rhoma Irama
Badan pun tak berharga sesaat ditinggal nyawa
Anak isteri tercinta tak sudi lagi bersama

Secepatnya jasad dipendam
Secepatnya jasad dipendam
Karena tak lagi dibutuhkan
Diri yang semula dipuja
Kini bangkai tak berguna

Dari kamar yang indah kasur empuk tilam putih
Kini harus berpindah terkubur dalam perut bumi

Kalau selama ini diri berhiaskan
Emas intan permata bermandi cahaya
Tetapi kali ini di dalam kuburan
Gelap pekat mencekam tanpa seorang teman

Terputuslah pergaulan
Terbujurlah sendirian
Diri terbungkus kain kafan

Wajah dan tubuh indah yang dulu dipuja-puja
Kini tiada lagi orang sudi menyentuhnya

Jadi santapan cacing tanah
Jadi santapan cacing tanah
Sampai yang tersisa kerangka
Begitulah suratan badan
Ke bumi dikembalikan

Kebanyakan manusia terlena sehingga lupa
Bahwa maut ‘kan datang menjelang

Perkembangan Peradaban dan Kemajuan Zaman yang sangat pesat

Saat ini para wanita, terutama para remaja, sudah enggan untuk memakai jilbab. Jilbab baginya cuma suatu beban. Mereka lebih memilih busana yang bisa menonjolkan aurat mereka.Padahal itu dosa.Tapi mengapa mereka seperti sudah biasa dengan yang namanya dosa. Setiap hari pamer aurat dikhalayak umum, tidak sedikitpun ada rasa malu. Malahan yang berjilbab dan yang berbaju lebar mereka sisihkan. Padahal mereka tidak sadar mereka yang harus tau diri. Ingat, dunia sudah tua sekali, ingat kiamat sudah dekat. Banyak-banyak lah bertobat, dan segera ubah penampilan.

Dizaman yang maju ini juga, orang lebih membutuhkan koran dari pada qur'an. Bisa-bisanya koran jadi kebutuhan dan qur'an cuma disimpan dan tidak pernah dibaca apalagi untuk dipahami.

Remaja juga lebih cenderung menghabiskan waktu seharian diwarnet dengan tujuan yang tidak jelas. Dan internet ini sangat besar pengaruhnya bagi para remaja generasi muda.Disamping membantu kita, juga membuat fikiran kita jadi tidak benar.

warnet juga bebas, dari yang tua sampai anak-anak datang untuk melihat yang tak sepatutnya dilihat, main game,dan lain-lain. Game lah yang membuat mereka malas untuk belajar.

Para orang tua yang budiman, bimbing lah anak-anak kita, karena mereka generasi kedepan penerus bangsa.

LIRIK LAGU-LAGU CIPTAAN RAMLAN SR



LIRIK LAGU-LAGU
CIPTAAN
RAMLAN SR






( Cinta Itu Buta )

Pertama ku melihat mu aku tergoda
Karna kecantikan mu karna keayuan mu
Membuat hatiku berkata cinta

Bolehkah aku tau namamu
Aku mengagumi kamu
Maukah jadi pacarku
Tolong jangan tolak aku
Karna ku tak bisa hidup tanpamu

Reff. Terimalah cinta suci ini
Yang datang dari dasar hatiku

Terimalah rasa hati ini
Ku yakin kau pasti bahgia bila

Bersamaku
bersamaku


( Hatiku Terbakar )

Malam semakin larut
Didalam kesunyian
Ku hanya bisa menangisi
kenangan tentang kita

Sungguh teganya dirimu
meninggalkan aku
disaat diriku
membutuhkan cinta darimu

Reff. Hancur-hancur hati ini
terbakar karna ulah mu
Biarlah ku pergi sejauh mungkin

Ku sadar diantara kita
Memang jauh berbeda
Ku doakan semoga
Kau bahagia dengan dirinya


( Kau Ku Puja )

Dirimu bagaikan rembulan
terangi hatiku
Dan bitang pun mengiringi
langkah hidup ini

Cobalah engkau pahami
hatiku yang lara
pastinya engkau mengerti
ketulusan hatiku


Reff. Cintaku kepadamu
takkan hilang
Untuk selamanya
Dan diriku bagaikan pungguk
Merindui rembulan

Ku puja dirimu untuk selamanya 3x


( Kerinduan ku)

Bila ku mendengar suaramu
diriku jadi rindu
bila ku mendapat sentuhan mu
diriku makin cinta

Tak ingin rasa untuk berpisah
Dengan mu oh cintaku
Tapi mengapa kini berubah
Kau pergi tinggalkan ku

Apakah aku pernah sakiti
Dirimu oh sayangku

Reff. Oh Tuhan kembalikan lagi
Dirinya yang telah jauh
Agar jiwa ku merasa tenang
Dari kerinduan yang melanda

Kasihku cintaku sayangku
Kau ku rindu

( Perbedaan)

Kau gadis ternama
yang pernah ku jumpa
yang sangat jelita
penuh dengan kesopanan ho…

Siapa yang melihat
Pastinya tergoda
Karena ayu nya
Aku jadi jatuh cinta wo…

Reff. Apakah aku pantas
Miliki dirimu
Sedangkan kita sangat jauh berbeda
Dan biarlah ku mengalah saja

Biarlah dirinya yang pantas memiliki
Agar dirimu bahagia selalu
Berkekalan dengan dirinya
Dan lupakan aku
( Sabar Dalam Bercinta)

Tega dirimu menduakanku
Disaat diriku sedang jauh dari dirimu

Mengapa engkau hancur istana
Yang telah lama kita bina bersama

Ku kan tetap sabar tanpa dendam

Reff. Waktu kita jumpa kau hanya terdiam
Tiada kata dan tiada senyuman
Seolah-olah tak mengenal siapa diriku


Lalu ku genggam lembut tangan mu
Sambil tersenyum dan ku berkata
Raih cintanya dan kita berteman saja

Salamanya…


( Ku Mohon Mengertilah)

Seperti di tusuk-tusuk hatiku
Saatku tau kau sudah berpunya
Jika kau tau cintku padamu
Mungkin kau akan mengerti

Mungkin salahku juga
Yang datng bukan pada saatnya
Tapi hatiku tidak bisa berbohong
Kau tetap jadi idamanku

Reff. Kumohon mengertilah
Dan terima cintaku
Karena sirna dunia ini
Jika engkau milik orang

Terangilah ruang yang redup ini
Dan berikan sedikit cahaya
Agar duniaku berseri kembali
Dirimu harapan hadapan ku

Jumat, 25 Maret 2011

Tafsir Fiqhi/ Ahkam dan Tafsir Falsafi


BAB II

PEMBAHASAN

A. Tafsir Fiqhi/ Ahkam

Tafsir fiqhi yang dikenal juga dengan tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam ialah tafsir yang lebih berorientasi pada ayat-ayat hokum dalam Al-Qur’an (ayat al-Ahkam).

Keberadaan tafsir ahkam dapat dikatakan diterima oleh seluruh lapisan mufassirin. Tafsir ahkam memiliki usia yang sangat tua, karena lahir bersamaan dengan kelahiran tafsir Al-Qur’an pada umumnya.

Jawaban-jawaban Nabi atas pertanyaan-pertanyaan sahabat dikategorikan sebagai tafsir bi al-ma’tsur, juga dikategorikan sebagai tafsir fiqhi. Setelah Nabi wafat , para sahabat menggali sendiri hukum-hukum syara’ dari Al-Qur’an ketika berhadapan dengan permasalahan-permasalahan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi. Ijtihad para sahabat pun di samping dikategorikan sebagai tafsir al-ma’tsur juga dikategorikan tafsir fiqhi. Demikian pula ijtihad para tabi’in.

Tafsir fiqhi semakin berkembang seiring dengan majunya intensitas ijtihad. Pada awalnya, penafsiran-penafsiran fiqhi terlepas dari kontaminasi hawa nafsu dan motivasi-motivasi negative. Hal itu berlangsung sampai periode munculnya mazhab fiqih empat dan yang lainnya. Pada periode ini kaum muslimin dihadapkan dengan masalah yang belum pernah terjadi pada generassi-generasi sebelumnya, sehingga belum ada keputusan hukumnya. Ketika menghadapi masalah ini, setiap imam mazhab berijtihad dibawah naungan Al-Qur’an, sunnah, dan sumber-sumber penetapan hokum islam lainnya. Mereka lalu berhukum dengan hasil ijtihadnya yang telah dibangun atas berbagai dalil.

Setelah periode ini muncullah para pengikut imam-imam mazhab. Diantara mereka terdapat orang-orang yang fanatik terhadap mazhab yang dianutnya. Ketika memahami Al-Qur’an , mereka menggiringnya agar sesuai dengan mazhab yang mereka anut. Namun diantara mereka ada yang tidak fanatik dengan mazhab yang mereka anut, mereka memahami Al-Qur’an dengan menggunakan pemikiran yang bersih dari kecenderungan hawa nafsu. Mereka bahkan memahami dan menafsirkannya atas dasar makna-makna yang mereka yakini benarnya.

Setiap mazhab dan golongan tersebut berupaya dan berusaha menakwilkan Al-Qur’an sehingga dapat dijadikan dalil atas kebenaran mazhabnya, dan berupaya menggiring ayat-ayat Al-Qur’an sehingga sejalan dengan paham teologi masing-masing. Tafsir fiqhi ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih karangan imam-imam dari berbagai kalangan mazhab.

Al-Tafsir al-Fiqhi ini tersebar luas di celah-celah halaman berbagai kitab fikih yang dikarang oleh tokoh berbagai mazhab. Terutama setelah masa kodifikasi, banyak ulama menulis karya tafsir semacam ini sesuai dengan pandangan mazhab mereka.

Diantara kitab-kitab tafsir yang bercorak fiqhi ini adalah :

a. Ahkamul qur’an, oleh al-Jash-shas (w. 370 H).

b. Ahkamul qur’an, karya Ibn al-Arabi (w. 543 H).

c. Al-Jami’ li ahkamil qur’an, oleh al-Qurthuby (w. 671 H).

B. Tafsir Falsafi

Tafsir Falsafi adalah penafsiran Al-Qur’an berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal. Ilmu filsafat tidak diketahui orang-orang Islam sebelum masa bani Abbasiyah pertama (132-232 11/ 750-847 M). Ilmu ini ditransfer kedunia Islam melalui penerjemahan buku-buku filsafat Yunani yang tersebar di daerah-daerah Laut Putih, Iskandariah, Anthakiah, dan Harran.

Pada masa Harun Al-Rasyid lebih diutamakan penerjemahan filsafat Aristoteles dan Persia. Kemudian pada masa Al-Makmun penerjemahan lebih aktif lagi dan disertai dengan mengirim tim-tim ke negara-negara tetangga seperti Cyprus dan Romawi untuk mendapatkan buku-buku filsafat. Kemudian lahirlah filsuf-filsuf muslim yang terkenal, yang kemudian menulis buku dalam Khazanah keilmuan dalam berbagai cabang, seperti kedokteran, logika, astronomi dan lainnya. Diantaranya adalah, Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina:

1. Tema-tema penafsiran dengan kecenderungan filsafat

Karena filsafat merupakan cabang dari ilmu pengetahuan dan mempunyai objek kajian tertentu yang berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Tafsir dengan kecenderungan filsafat mempunyai objek yang tidak lepas dari pengaruh dari objek kajian filsafat itu sendiri. Menurut C.A. Qadir, objek kajian tersebut antara lain berikut ini :

a. Masalah doktrin monteisme atau keesaan Allah. Menurut doktrin ini, Allah adalah pencipta Alam semesta yang tidak berawal dan tidak berakhir, tidak berubah, Maha tahu, Maha kuasa , satu-satunya yang disembah. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.

b. Masalah yang sangat penting adalah menyangkut kenabian, yang menyangkut sebagai sifat dasar dan cirri-ciri kesadaran, perbedaan dan kemiripannya dengan kesadaran mistik, logika atau kesadaran keagamaan, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya.

c. Masalah penyelesaian antara filsafat dan agama. Para filosof berpendapat bahwa pada tingkat akhir, hasil pemikiran filsafat tidak bertentangan dengan agama karena kedua-duanya bersumber pada hakikat terakhir yang sama.

2. Metodologi tafsir dengan kecenderungan falsafi

Dari objek kajian dan prinsip kefilsafatan ini, dapat dilihat bahwa dalam metodologi penafsiran dari mazhab tafsir yang berkecenderungan filsafat ini, terdapat upaya penggabungan antara filsafat dan agama atas dasar penakwilan teks-teks agama pada makna-makna yang sesuai dengan filsafat, yang filosofis, yang dimulai perenungan atas sejumllah fenomena lainnya dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan ayat Al-Qur’an . Dengan kata lain, dapat dikatakan, mendahulukan pertimbangan logika kemudian diteruskan dengan melihat norma syari’at, yaitu Al-Qur’an.

3. Contoh penafsiran dalam kecenderungan Filsafat


Artinya : Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada nya.

(Ar-Rahman :6)

Kata “sujud” pada ayat tersebut dengan makna tunduk pada ketentuan Illahi. Karena secara lahir, kata sujud bagi binatang dan pohon tidak mungkin terlihat pada sujud ketika shalat bagi manusia. Dengan demikian harus diakui bahwa benda-benda mempunyai daya hidup. Sedangkan kehidupan merupakan indikasi adanya kematian atau kehancuran yang terjadi pada suatu saat. Karena makhluk rasional lebih unggul ketimbang yang irasional. Padahal benda-benda tidak mempunyai akal, batas kecerdasan benda-benda itu termasuk benda itu sendiri, haruslah lebih rendah dari manusia.

Menurut Quraish Shihab, medan filsafat alam objek penafsirannya hanya sekitar hal yang menyangkut keyakinan (tauhid, aqidah, atau teologi). Oleh karena itu, terjadi bias-bias yang terkadang mengarah kepada tercerabutnya konsep tauhid terutama dari Mu’tazilah dan orang yang masuk Islam yang sekat-sekat keyakinan lamanya masih kuah dan terbawa pada ketauhidan Islam. Dengan tafsir yang bersifat falsafi ini, akidah menjadi cacat, Fasad, dan sekedar menjadi bahan perbincangan yang membuat pro dan kontra.



DAFTAR PUSTAKA

Juhaya, S. Praja, Dr. Tafsir Hikmah (seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia), PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002.

Suma Muhammad Amin. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2001

Khaeruman Badri, Drs.Mag, Sejarah Perkembangan Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2004

Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung . Pustaka Setia. 2005



Mujmal dan Mubayyan


Archive for the ‘Ushul Fiqih’ Category
MUJMAL dan MUBAYYAN
Filed under: Agama, Ushul Fiqih | Tags: hukum islam, mubayyan, mujmal, Ushul Fiqih
Leave a Comment
MUJMAL DAN MUBAYYAN
A. Pengertian Mujmal
Secara bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.
1. Contoh: lafadz yang masih memerlukan lainnya untuk menentukan maknanya: kata ” rapat ” dalam bahasa Indonesia misalnya memiliki dua makna: perkumpulan dan tidak ada celah. Sedangkan dalam al Qur’an misalnya surat al Baqarah: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ …….﴿البقرة: ٢٢٨﴾
kata ” قروء ” dalam ayat ini bisa berarti : suci atau haidh. Sehingga untuk menentukan maknanya membutuhkan dalill lain.
2.contoh: lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan tatacaranya. Surat An Nur: 56
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿النور: ٥٦﴾
Kata “ mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena tidak diketahui tatacaranya, maka butuh dalil lainnya untuk memahami tatacaranya.
Begit pula ayat- ayat haji dan puasa
3. contoh lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan ukurannya. Surat an nur : 56 di atas.
Kata ” menunaikan zakat ” dalam ayat di atas masih mujmal karena belum diketahui ukurannya sehingga untuk memahaminya masih diperlukan dalil lainnya.
B. Pengertian Mubayyan
Mubayyan artinya yang dinampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafadz yang dapat dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya.
Contoh lafadz yang dapat dipahami berdasar asal awalnya. Misal kata: langit, bumi, adil, dhalim dan sejenisnya Kata-kata ini dapat dipahami berdasar asal awal terjadinya seperti itu.
Contoh lafadz yang dapat dipahami setelah ada penjelasan dari lainnya adalah surat an Nur: 56 di atas yang asalnya mujmal kemudian setelah ada dalil penjelasannya dari rasululah saw, maka kemudian kata mujmal tadi menjadi mubayyan.
C. Kaidah Mujmal
Wajib bagi seorang mukallaf untuk mengamalkan yang mujmal manakala ada dalil yang menjelaskannya dari kemujmalannya.
MUTLAQ DAN MUQAYYAD
Posted April 29, 2009
Filed under: Mutlaq dan Muqayyad | Tags: mutqa. muqayyad, pengertian muqayyad, pengertian mutlaq
Comments (2)
Mutlaq dan Muqayyad
A. Pengertian:
- Mutlaq: lafadz yang menunjuk pada satuan yang tidak tertentu.
Contoh: lafadz ” laki-laki/ رَجُل ” yang menunjuk bukan pada seseorang tertentu.
Muqayyad: lafadz yang menunjuk pada satuan yang tidak tertentu tetapi lafadz itu dibarengi dengan sifat yang membatasi maksudya.
Contoh: ” laki-laki Basrah/ رَجُل بَصري ” atau ” laki-laki shalih/ رجل صالح “
B. Kaidah Mutlaq:
lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingg ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu.
Contohnya: kata ” رقبة ” dalam surat al mujadilah: 4, lafadz ini bersifat mutlaq dalam arti bisa raqabah mukmin atau kafir.
Contoh lain: surat an nisa’: 11 tentang kewajiban wasiat, lafadz ” وصية ” dalam ayat ini sifatnya mutlaq, kemudian as sunnah memberikan batasan besarnya wasiat yakni sepertiga, berdasar HR Muttafaqun ‘Alaih.
C. Kaidah Muqayyad:
Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.
Contoh:
firman Allah dalam surat al Mujadilah: 4 lafadz ” dua bulan/ شهرين ” adalah mutlak yang dibarengi dengan kata ” berturut-turut/ متتابيعين ” maka kemudian menjadi muqayyad, maka berpuasa disini harus dua bulan berturut-turut tidak boleh secara terpisah.
10. AL MUTLAQ DAN AL MUQAYYAD
Posted November 13, 2007
Filed under: Ushul Fiqih | Tags: muqayyad, mutaq, Ushul Fiqih
Comments (4)
MUTLAK DAN MUQAYYAD
Mutlak adalah: lafadz yang telah menunjuk pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya.
Misal: kata “meja”, “rumah”, “jalan” , kata-kata ini memiliki makna mutlak karena 1) secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami, 2) dan tidak dibatasi oleh kata-kata lain.

Contoh dalam al qur’an adalah pada kata Raqabah dalam surat al Mujadilah: 3. bahwa kafarat dhihar adalah memerdekakan budak/Raqabah.

Budak dalam ayat tersebut bermakna mutlak (memiliki pengertian tertentu yang sudah kita pahami dan tidak dibatasi pada makna yang spesifik)

Muqayyad: adalah lafadz yang menunjuk pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu.
Misal: ungkapan meja menjadi “meja hijau”, rumah menjadi “rumah sakit”,jalan menjadi “jalan raya”. Kata-kata rumah,jalan dan meja ini sudah menjadi muqayyad karena 1) menunjuk pada pengertian/makna tertentu dan 2) dikaitkan atau diikatkan dengan kata lainnya.
Contoh dalam al qur’an misalnya kata kata raqabah yang telah dibatasi dengan kata mu’minah sehingga menjadi “raqabah mu’minah” dalam surat ani nisa’: 92 tentang kafarat pembunuhan.
Budak mukmin (raqabah mu’minah) dalam ayat di atas memiliki makna muqayyad karena 1) menunnjuk pada makna tertentu dan 2) dibatasi dengan kata lainnya yakni budak mukmin bukan budak lainnya.

Persoalannya adalah bagaimana kita mengamalkan mutlak dan muqayyad ini? Pada dasarnya yang mutlak dikerjakan menurut makna mutlaknya, yang muqayyad dikerjakan sesuai muqayyadnya, kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa yang mutlak dibawa ke muqayyad. maka bila ada dua nash yang satu bersifat mutlak yang kedua bersifat muqayyad bila hukumnya berbeda maka dikerjakan sesuai keadaannya masing-masing, tetapi bila hukumnya sama maka yang muqayyad wajib dibawa ke yang mutlak.

contoh: kedua ayat di atas bisa digabungkan, yakni raqabah dalam kafarat dhihar haruslah raqabah mukminah, tidak bisa hanya raqabah saja, karena dalil yang menunjukkan penggabungan ini adalah bahwa hukum kedua kafarat itu sama yakni sama-sama memerdekakan budak, maka budak yang dalam pengertian mutalk dibawa kepada budak dalam pengertian muqayyad, yakni budak mukmin.

tetapi bila mutlak dan muqayyad tidak bisa digabung karena hukumnya beda, maka mutlak tidak bisa digabung ke yang muqayyad. Misalnya ayat potong tangan bagi pencuri dan ayat membasuh tangan samapi siku dalam wudlu. Ayat potong tangan bagi pencuri bersifat mutlak sedang ayat membasuh tangan sampai siku dalam wudlu bersifat muqayyad. tetapi potong tangan bagi pencuri tidak bisa dibawa ke ayat membasuh tangan sampai siku dalam wudlu karena hukum keduanya berbeda. yakni potong tangan dan membasuh tangan. Maka ayat ini harus dikerjkan sendiri-sendiri. Ayat potong tangan sampai pergelangan tangan, ayat membasuh tangan sampai siku ketika berwudlu.

Am dan Khas

LAFADZ ‘AM DAN LAFADZ KHAS

By : Ramlan Syah Reza

A. PENDAHULUAN

Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am dan lafadz{ khas. Makalah ini akan membahas lafadz ‘am dan lafadh khas secara lebih mendalam.

B. LAFADZ ‘AM

1. Pengertian Lafadz ‘am
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah “LAFADH yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu “.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.

2. Bentuk-bentuk lafadz ‘am
Lafadz ‘am mempunyai bentuk (sighah) tertentu, diantaranya:
a. LAFADH كل (setiap) dan جامع (seluruhnya).
Misalnya firman Allah:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
Dan sabda Rasulullah SAW:
كُلُّ رَاعٍ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
“Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)
LAFADH كل dan حامع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
b. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Para ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
c. Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 275).
LAFADH al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
d. LAFADH Asma’ al-Mawshu>l. Seperti ma, al-ladhi>na, al-lazi dan sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebeenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
e. LAFADH Asma’ al-Syart} (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)
f. Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi> (negatif), seperti kata لَا جُنَاحَ dalam ayat berikut:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).
3. Dalalah Lafadz ‘am
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafa{dz ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:
مَا مِنْ عَامٍ إِلاَّ خُصِّصَ
“Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama’, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121)
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:
المْسْلِمُ يَذْبَحُ عَلَى اسْمِ اللهِ سَمَّى أَوْ لمَ يُسَمِّ . (رواه أبو داود)
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadits itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW.
4. Macam-macam lafadz ‘am
a. Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).( Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b. Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
c. Lafadz ‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.

C. LAFADH KHASH

1. Pengertian lafaz khas
Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm.
Menurut istilah, definisi khas adalah:
“Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-LAFADH lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”.
2. Dalalah Khash
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)
LAFADH tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.
Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ
“pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.

D. TAKHSHISH
1. Pengertian Takhshish
Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadh khas, tidak bisa terlepas dari takhshish. Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.
2. Macam-macam takhshish
a. Mentakhshish ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an. Misalnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.(Al-Baqarah:228).
Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish dengan surat At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.(At-Thalaq:4)
Dapat pula ditakhshish dengan surat Al-Ahzab:49:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.(Al-Ahzab:49).
Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.
b. Mentakhshish Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Misalnya firman Allah dalam Al-Maidah ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai).(Al-Maidah:38).
Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:
لاَ قَطْعَ فِي أَقَلَّ مِنْ رُبْعِ دِيْنَارٍ . (رواه الجماعة)
“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar”. (H.R. Al-Jama’ah).
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
c. Mentakhshish As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Misalnya hadits Nabi SAW yang berbunyi:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ خَتىَّ يَتَوَضَّأَ . متفق عليه
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alayh).
Hadits di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam Al-Maidah ayat 6:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). (Al-Maidah:6).
Keumuman hadits di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.
d. Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah. Misalnya hadits Nabi SAW:
فِيْمَا سَقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ . متفق عليه
“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq Alayh).
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ . متفق عليه
“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram)’. (Muttafaq Alayh).
Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.
e. Mentakhsish Al-Qur’an dengan Ijma’.
Contohnya:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.(Al-Jum’ah:9).
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jum’at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.
f. Mentakhshish Al-Qur’an dengan qiyas. Misalnya:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَة
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur:2).
Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh An-Nisa’ ayat 25:
فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa’:25).
Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.
g. Mentakhshish dengan pendapat sahabat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadits dengan pendapat sahabat tidak diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabt itu yang meriwayatkan hadits yang ditakhshishnya. Misalnya:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ . متفق عليه .
“Barangsiapa menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka bunuhlah dia”. (Muttafaq Alayh).
Menurut hadits tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadits tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja.
Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umu hadits tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman hadits di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadz-lafadz umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.
E. SIMPULAN
1. Lafadz ‘Am adalah lafadz yang bermakna umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu dan tidak terbatas pengertiannya.
2. Lafadz Khas adalah lafadz yang menunjukkan arti tertentu, tidak meliputi arti umum.
3. Takhshish adalah menjelaskan bagian-bagian di dalam lafadz ‘am dengan dalil lain.
F. PENUTUP
Meskipun kami sudah berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini, tapi kami yakin masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik dan saran sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.
G. DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an dan Terjemahannya, Mujamma’ Al-Malik Fahd li Thibaat al Mush-haf, Madinah al Munawwarah, 1994.
Jazuli, A, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta, PT. Raja Grafido Persada, 2000.
Rifa’i, Moh, Ushul Fiqh,Jakarta, PT.Al-Ma’arif, 1979.
Satria Effendi, Prof.Dr.H, M.Zein, Ushul Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2005.

Ditulis dalam Ushul Fiqh